Aceh saat ini membawa ketegangan, antar sesama warga Aceh mulai menabuh
permusuhan, karena Pilkada. Terbelah dalam kelompok politik penebar aroma
kebencian yang menyengat. Pemerintah Pusat yang diharapkan memberikan solusi,
lebih suka berpangku tangan. Membiarkan Aceh saling melukai hingga makin
terkoyak, berdarah, dan bernanah.
Menggunakan
Replika pesawat Seulawah RI-001 yang teronggok di halaman Anjungan Aceh Taman
Mini Indonesia Indah (TMII) Jakarta, sebagai panggung pertunjukan bertajuk
“Panggung Seni Seulawah RI, pertunjukan yang berlangsung pada 09.00 wib sampai
11.00 WIB itu akan disi oleh lebih 100 pemusik, penari dan pembaca puisi, yang
berasal dari berbagai kelompok kesenian Aceh di Jakarta. Di antaranya ikut grup
kesenian Lembaga Pelestarian Seni Budaya Aceh (LPSBA) Kota Sabang.
Di sinilah
mereka menguraikan riwayat keikhlasan Aceh menyumbang emas dan harta bendanya
untuk membeli pesawat dakota yang diregistrasi menjadi Seulawah RI-001.
Seulawah artinya Gunung Emas.
Narasi dan
penataan pertunjukan “Panggung Seni Seulawah RI-001” digarap oleh Fikar W. Eda.
Seniman Aceh ini memanfaatkan bentuk-bentuk kesenian tradisional Aceh seperti
hikayat, sebuku, didong, saman, bines, rapa’i dan lain-lain. Musik ditangani
Alex Qanun dan kawan-kawan.
Pada 1948
Republik Indonesia sedang berjuang menghindari restaurasi penjajahan kolonial
Belanda. DI zaman yang sangat sulit itulah Presiden Sukarno berkunjung ke
Kutaraja (sekarang Banda Aceh), Ibukota Provinsi Aceh, pada 16 Juni 1948.
Rakyat Aceh
menjamu sang Presiden makan malam di Hotel Atjeh. Di sinilah Presiden Soekarno
menyampaikan rencana pembelian pesawat untuk kepentingan tugas-tugas
pemerintahan dan kenegaraan. Secara khusus meminta sumbangan rakyat Aceh. “Saya
tak bersedia makan malam sebelum ada jaminan dana pembelian pesawat,” kata Soekarno
ketika itu.
Ketua
Gabungan Saudara Indonesia Aceh (Gasida) HM Djoened Joesoef yang juga salah
seorang saudagar, menyambut permintaan Soekarno itu dan mengkoordinasikan
penghimpunan sumbangan dari rakyat Aceh. Terkumpul dana 120 ribu dolar dan 20 kilogram
emas, nilainya pada saat itu berkisar 120.000 Dollar Malaya.
Dengan
“gunung emas”, hadiah dari rakyat Aceh, itu pada Oktober 1948 dibelikan satu
pesawat terbang merek DC 3 „Dakota“ (C 47) di Singapura. Diberi nama Seulawah
RI, pesawat ini langsung bertugas untuk penerbangan antara Maguwo (Jogyakarta)
dan Kutaraja (Aceh).
Penerbangan
yang bersejarah terjadi di bulan Nopember 1948 sewaktu Wapres Dr. M. Hatta
berkunjung di seluruh daerah-daerah Republik Indonesia di Sumatra demi
memperkokoh semangat nasional pembela-pembela kemerdekaan Republik Indonesia
yang bertahan melawan serangan Belanda.
Lalu, dari
pesawat inilah lahir pesawat-pesawat lainnya. Pada akhir 1949, Indonesian
Airways menjadi Garuda Indonesian Airways.
Kini
anak-cucu Seulawah menjadi ratusan Garuda Indonesia Airways yang setiap hari
terbang berseliweran di udara. Menjadi sebuah maskapai kebanggan Indonesia yang
tak hanya mengirimkan kabar gembira untuk Aceh, juga menerbangkan cerita
nestapa yang tiada berujung ke tanah leluhurnya.
***
Bagi rakyat
Aceh nama Seulawah menjadi simbol dan bukti pengorbanan rakyat Aceh untuk
kemerdekaan Indonesia, yang begitu lama menunjukkan kesetiaannya terhadap
persatuan nasional.
Namun
kesetiaan itu berbalas luka untuk Aceh. Hingga kemudian melahirkan berbagai
kekecewaan. Meletuslah perlawanan Daud Beureu-eh lewat DI-TII, kemudian Hasan
Tiro melalui Gerakan Aceh Merdeka. Setelah diterjang bencana tsunami, barulah
ada damai di Aceh. Lewat perjanjian damai dengan berbagai kemudahan untuk Aceh.
Kini damai
itu mulai retak dan menyemai bibit pertikaian yang barangkali akan tiada
berkesudahan. Tak lagi dengan Jakarta (pemerintah pusat), tetapi antar sesama
rakyat Aceh yang terbelah dalam kepentingan politik. Jakarta yang diharapkan
sebagai penengah, sampai kini belum menerbitkan sebuah kebijakan yang bisa
menenangkan pihak yang bertikai.
Jika begini,
maka wajarlah jika seniman Fikar W. Eda pernah menggoreskan sebuah puisinya
“Rencong”.
RENCONG
Siapa saja yang datang kami sambut dengan tarian
Siapa saja yang datang kami sambut dengan tarian
dan syair perjamuan
pertanda kemuliaan
Siapa saja
yang datang kami kalungi bunga
salam
sepuluh jari menjadi sebelas dengan kepala
Siapa saja
yang datang kami hadiahi gelar
sebagai
saudara dan penghormatan
Berbilah-bilah
rencong dengan sarung dan tangkai berkilap
tak lupa
kami selipkan
pertanda
martabat dan keagungan
Betapa pedih
hati kami
dari Jakarta
kalian
hujamkan mata rencong itu
tepat di
jantung kami!
Jakarta, 1998